Jakarta, Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Jumat (27/1/2023). Indeks dolar AS yang menguat pada perdagangan Kamis membuat rupiah tertekan.

Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,13% ke Rp 14.965/US$, melansir data Refinitiv. Depresiasi bertambah menjadi 0,2% ke Rp 14.975/US$ pada pukul 9:06 WIB.

 

Penguatan indeks dolar AS terjadi setelah rilis ekonomi Amerika Serikat kuartal IV-2022 dilaporkan tumbuh 2,9%, lebih tinggi dari ekspektasi 2,6%.

 

Sepanjang 2022, ekonomi Negara Paman Sam tumbuh 2,1%. Angka tersebut memang jauh di bawah pertumbuhan pada 2021 yang mencapai 3,2%. Namun, pertumbuhan terbilang tinggi di tengah hantaman tingginya inflasi dan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang berada di level tertinggi dalam 15 tahun.

 

Selain itu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan data klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 21 Januari. Klaim yang diajukan sebanyak 186.000, menjadi yang terendah sejak April 2022.

 

Dengan pertumbuhan ekonomi yang masih kuat, begitu juga dengan pasar tenaga kerja ada kemungkinan The Fed masih tetap agresif menaikkan suku bunga 50 basis poin pada pekan depan. Meski, pasar masih berekspektasi The Fed akan menaikkan 25 basis poin.

 

Pelaku pasar pun akan menunggu kepastiannya, sehingga rupiah masih akan naik turun dengan kecenderungan melemah sebab melihat posisinya saat ini di level terkuat 3 bulan.

 

Sementara itu dari dalam negeri, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kemarin menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 bps. Bunga untuk bank umum naik menjadi sebesar 4%, valas 2% dan BPR 6,5%.

 

Kenaikan bunga simpanan valas diharapkan semakin menarik eksportir untuk menahan dolar mereka di perbankan dalam negeri.

 

Kendati demikian, angkanya masih jauh kecil dibandingkan yang ditawarkan perbankan Singapura di kisaran 4%.

 

Isu devisa hasil ekspor (DHE) Indonesia yang ditempatkan di Singapura menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah sulit menguat. DHE yang ditempatkan di negara tetangga tersebut membuat pasokan dolar AS di dalam negeri menjadi kering. Saat supply tiris, sementara demand meningkat, maka dolar AS di dalam negeri menjadi lebih mahal, alias membuat rupiah melemah.

 

Oleh karena itu pemerintah saat ini sedang merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE). Rencananya, pemerintah akan menerapkan aturan agar eksportir harus menahan dolar hasil ekspornya di perbankan dalam negeri selama 3 bulan, dari semula 1 bulan.

By rdks

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *