Jakarta, Nilai mata uang rupiah terpuruk di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (10/2/2023), rupiah anjlok 0,27% ke posisi US$ 15.130/US$1.

Pelemahan ini mengakhiri tren positif mata uang Garuda yang menguat 0,33% dalam dua hari sebelumnya. Secara keseluruhan, rupiah amblas 1,58% dalam sepekan. Padahal, pekan lalu rupiah menguat 0,6% sepekan.

 

Pelemahan rupiah tak bisa dilepaskan dari kekhawatiran pelaku pasar mengenai kemungkinan masih agresifnya bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).

 

Lebih lanjut, pelaku pasar cenderung berhati-hati dan menunggu rilis data inflasi Amerika Serikat yang akan dilaporkan pada Selasa minggu depan.

 

Hal tersebut menentukan bagaimana sikap The Fed mengenai kebijakan moneternya.

 

Mengingat tenaga kerja yang tercatat masih kuat bahkan di luar ekspektasi menjadi 517.000 tenaga kerja baru dibandingkan bulan sebelum yang berada di kisaran 200.000 an.

 

Menyusul juga komentar-komentar hawkish dari beberapa pejabat The Fed. Salah satunya datang dari Christoper Waller yang mengungkapkan akan terus memerangi inflasi hingga mencapai targetnya yakni 2%.

 

The Fed bisa saja kembali agresif untuk menaikkan suku bunga yang saat ini di kisaran 4,75%- 5% menjadi 5- 5,25% jika laju inflasi tidak sesuai harapan bank sentral.

 

“Tampaknya pandangan yang masuk akal tentang apa yang perlu kita lakukan tahun ini untuk menurunkan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan” ungkapnya.

 

Di sisi lain, penurunan harga batu bara dan minyak sawit mentah (CPO) menjadi kabar buruk tentunya bagi rupiah. Ekspor CPO dan batu bara berkontribusi sekitar 30% ke total ekspor.

 

Pada perdagangan Kamis (9/21/2023), harga batu kontrak Maret di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 191,5 per ton. Harganya ambruk 16,38% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya.

 

Pelemahan tersebut menyeret harga batu bara ke bawah level US$ 200 untuk pertama kalinya sejak 3 Februari 2022 atau sebelum perang Rusia-Ukraina meletus.

 

Penurunan harga batu bara dan CPO ini bisa berdampak kepada melemahnya ekspor Indonesia. Artinya, pasokan dollar AS ke Indonesia melalui jalur ekspor akan berkurang. Rupiah pun bisa terimbas.

 

Penurunan ekspor juga bisa mengancam kembali transaksi berjalan Indonesia kembali ke zona negatif. Kondisi ini akan kembali menekan rupiah.

Spread the love

By rdks

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *