Jakarta – Dalam beberapa hari terakhir, sorotan publik tertuju pada Rocky Gerung, seorang pengamat politik yang telah menyuarakan kritiknya terhadap pemerintah Indonesia. Kritik ini dia sampaikan dalam acara Seminar dan Konsolidasi Akbar Sejuta Buruh di Kota Bekasi, Jawa Barat. Bahkan, tokoh filsafat dari Manado, Sulawesi Utara, ini dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Polri oleh DPP PDIP. Laporan tersebut mengandung tuduhan terkait dugaan tindak pidana ujaran kebencian dan penyebaran hoaks yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Beberapa waktu setelah kontroversi kritik yang melibatkan Rocky Gerung mencuat, media sosial Twitter diramaikan oleh sepotong video yang menampilkan Faisal Basri yang juga memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah Indonesia. Pada tanggal 31 Juli 2023, video ini diunggah dan pada tanggal 7 Agustus 2023, telah mencapai 168,7 ribu tayangan dengan 1.887 jumlah suka.
Setelah ditelusuri, ternyata video yang tengah viral di Twitter merupakan sebagian dari rekaman acara diskusi publik yang melibatkan sejumlah ekonom Indonesia, termasuk Faisal Basri. Acara ini diunggah ke kanal YouTube ASANESIA TV sekitar sembilan bulan yang lalu, tepatnya pada 21 Oktober 2022. Video yang berjudul ‘LIVE | Diskusi Publik Seri 1: Indonesia dan Ancaman Krisis Ekonomi Global’ ini telah dilihat sebanyak 1.630 kali hingga tanggal 7 Agustus 2023.
Ketika itu, Faisal Basri, seorang ekonom senior dari Universitas Indonesia, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengungkapkan kritiknya terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, terkait ekspor bijih nikel. Dalam pandangannya, Jokowi dinilai telah menyamakan bijih nikel dengan bijih timah. Meskipun ekspor bijih timah telah lama dilarang di Indonesia, Jokowi justru tengah mempertimbangkan larangan ekspor ingot, yaitu batang timah yang telah mencapai tingkat kematangan 70 persen.
“Jadi yang mau kita ekspor itu timah batangan, itu yang mau dilarang. Kalau dilarang, Aneka Tambang (Antam) mau nyalurin kemana tuh? Belum ada industri, cuma lima persen,” kataFaisal Basri pada menit 2:14:00 di video tersebut.
Pendapat Faisal Basri adalah bahwa Jokowi dianggap sebagai individu yang paling berdampak merugikan keuangan negara. Faisal berpendapat bahwa jabatan presiden seharusnya didasarkan pada pertimbangan yang terukur, dengan pengaturan kelembagaan yang jelas dan pemeriksaan mendalam oleh lembaga keuangan negara untuk menilai potensi keuntungan dan kerugian sebelum membuat keputusan.
“Sebelum Pak Jokowi memutuskan, Bappenas dulu sebagai tangan kanannya. Ini enggak ada yang lewat Bappenas, kereta cepat nggak lewat Bappenas, jadi Pak Jokowi jangan asal ngomong,” kata dia.
Faisal Basri mengungkapkan bahwa sekitar 95 persen dari bijih nikel yang ada di Indonesia digunakan oleh perusahaan-perusahaan asal China. Ia juga menyoroti bahwa bijih nikel yang pada awalnya belum memiliki nilai atau harga yang signifikan, dijual oleh pemerintah Indonesia dengan harga 34 dolar. Sementara itu, menurut Faisal, di Shanghai harga bijih nikel tersebut mencapai 80 dolar.
“Sembilan puluh persen produknya diekspor ke China, bebas bayar pajak 30 tahun, t**ol itu namanya,” kata Faisal.
Sebagai ekonom senior, Faisal Basri melanjutkan dengan menyatakan bahwa ia telah mengkomunikasikan dampak kerugian dari ekspor bijih nikel Indonesia ini kepada berbagai pihak. Bahkan, argumennya telah diangkat dan dibahas dalam sidang kabinet.
“Tetapi masih dipidatokan lagi, ‘wah kita dapat rezeki nomplok Rp 450 triliun’. Kebohongan luar biasa itu. Kita ‘kan masyarakat Indonesia, China yang dapet Rp 450 triliun-nya itu. Jadi jangan main-main ngurus negara Pak Jokowi,” lanjutnya.
Menurut Faisal Basri, tindakan yang dilakukan oleh Jokowi melalui kebijakannya telah mencapai tingkat yang berlebihan. Ia juga menyatakan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh Jokowi tidak berhubungan dengan korupsi atau KKN seperti pada masa Soeharto. Namun, menurut Faisal, yang dihancurkan oleh Jokowi adalah dasar-dasar yang mendasari sistem negara.
“Jadi harus dilawan, semua orang bisa lihatlah, ada yang beres nih lembaga-lembaga negara?” jelas Faisal.