Jakarta – Profesor Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina, mengkritik situasi politik di Indonesia dengan analogi bahwa meskipun politik di Indonesia tampak seperti demokrasi modern, esensinya justru sangat tradisional bahkan buruk karena tidak dapat diprediksi. Terkadang, unsur-unsur mistis pun ikut campur. Tidak ada landasan ideologis yang jelas dan juga tidak ada panduan dalam kerangka akademis yang terstruktur seperti contoh kebanyakan model Barat.
“Siapa yang menyangka bahwa Jokowi secara samar dan diam-diam membuat kendaraan koalisi, yang menyebabkan “head to head” dengan Megawati. Koalisi ini kemudian menjadi kekuatan politik yang nyata. Ini terjadi setelah PAN dan Golkar bergabung atas “titah politik” Jokowi.” Kata Didik di Jakarta, Senin (15/2/2023).
Dia mengamati bahwa kekuatan yang dimiliki Jokowi sebagai presiden dan daya tarik yang tinggi, terutama berkat subsidi yang berlimpah dari APBN kepada masyarakat, mampu menghasilkan suatu koalisi politik yang baru, diperkuat dengan retorika politik yang disuarakannya. Jokowi memanfaatkan ketenaran dan pengaruh politiknya untuk menjadi pemimpin yang memiliki pengaruh besar di dalam aliansi politiknya sendiri, yang kemudian berlawanan dengan PDIP.
“Tetapi kita tidak tahu pasti kekuatan ini bisa saja melemah setelah penetapan Capres selesai. Kemudian melemah lagi menjelang periode kedua berakhir.” Ujar didik.
Menurut Didik, hubungan antara Jokowi dan Megawati merenggang dan retak karena ketidaknyamanan dalam peran mereka sebagai pelaksana tugas-tugas partai. Peran ini terus berlanjut, atau dengan kata lain, partai terus memandu presiden secara terus-menerus dalam hal publik. Jokowi dan Megawati kini berada dalam situasi politik yang berlawanan dan keduanya telah menjadi pengambil keputusan utama dalam mendukung calon masing-masing.
“PDIP sekarang berada di sudut sendiri dan berhadapan dengan banyak lawan. Semua partai besar dan menengah sudah hampir pasti bergabung dengan koalisi sendiri. Partai Golkar, PAN, Demokrat, dan PKS sudah berlabuh dalam koalisi masing-masing. Mitra koalisi P3 tidak terlalu signifikan sehingga nanti berpengaruh terhadap elektabilitas Ganjar Pranowo” kata Didik.
Menurut pandangannya, Megawati saat ini menghadapi tantangan besar dari beberapa lawan yang signifikan, termasuk Surya Paloh dan SBY. Saat ini, muncul lawan yang tak terduga dalam bentuk Jokowi sendiri, yang berhasil membentuk aliansi yang kuat. Situasinya semakin rumit dan berat bagi PDIP. Terdapat banyak kritik terhadap pergeseran ini, terutama karena isu-isu internal di PDIP yang dianggap memiliki perilaku yang terlalu arogan.
“Jangan berharap pemerintah memikirkan rakyat. Pemerintahan sudah setengah bubar dengan polah dan format politik cawe-cawe seperti ini. Tahun 2023-2024 ini adalah tahun terburuk bagi kebijakan ekonomi, sosial, pendidikan, dll. Jangan berhadap ekonomi akan tumbuh 6 persen atau 7 persen seperti janji kampanye dulu,” ucap Didik.
Setelah arahan dari Jokowi, Golkar dan PAN secara resmi bergabung dengan Gerindra dan PKB, menjadi semakin nyata bahwa koalisi pemerintahan telah terbelah menjadi tiga bagian. Hal ini terlihat dari pola terbentuknya tiga koalisi partai dengan masing-masing calon presiden potensial. Dampak dari situasi ini adalah bahwa presiden dan para menterinya akan kesulitan fokus sepenuhnya pada tugas-tugas pemerintahan. Upaya, pemikiran, dan waktu mereka cenderung teralihkan untuk pertempuran politik menuju pemilihan tahun 2024.
Namun, Didik juga menyoroti bahwa saat ini demokrasi mengalami kemunduran dan kondisi yang kurang baik, terutama saat kekuatan yang berada di puncak kekuasaan mencoba untuk merubah batasan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dalam UUD 1945. Semua partai sepakat dengan ide ini, dan rencana tersebut sudah hampir dijalankan melalui sidang paripurna MPR.
“Tetapi Megawati dan PDIP sebagai partai terbesar menolak takut Jokowi mengalami nasib seperti Bung Karno. Dalam hal ini Megawati telah menyelamatkan demokrasi dari provokasi politik untuk amandemen undang-undang dasar, yang sudah digiring menuju 3 periode,” tambah didik.
Dia menyebut politik sekarang bergerak dengan kemauan dan kepentingan elit pemimpinnya. “Para pendukung Capres ke depan sebaiknya tidak usah militan radikal dengan membangun peradaban politik jahiliyah dan demokrasi bajingan, yang dilakukan dengan cara-cara menghasut, menjadi buzzer pemecah belah warga bangsa, dan sejenisnya. Itu telah terjadi dalam pilpres yang lalu dimana sesama warga dibelah dan membelah menjadi kutub Cebong dan Kampret.”