Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Prof. Didik J. Rachbini menilai politik di Indonesia bungkusnya demokrasi modern, akan tetapi isinya sangat tradisiona, bahkan juga tidak bisa ditebak. Tidak ada acuan ideologis, juga tida ada dalam kerangka akademis. Contohnya kebanyakan Barat.

Pandangan dari Rektor Universitas Paramadina adalah bahwa ia mengapresiasi kemampuan Jokowi sebagai presiden serta popularitasnya yang tinggi, karena pemberian subsidi yang signifikan dari APBN kepada rakyat mampu menciptakan peluang untuk membentuk aliansi politik baru dengan dukungan retorika politiknya. Jokowi juga menggunakan popularitas dan kekuatan politiknya untuk berperan sebagai pembuat keputusan yang berpengaruh di lingkungan politiknya sendiri, yang kemudian berhadapan dengan PDIP.

Menurut pendapat Didik, kolaborasi antara Jokowi dan Megawati berakhir dan mengalami perpecahan karena mereka merasa tidak nyaman dalam peran sebagai pengurus partai. Peran ini terus berlanjut, lebih tepatnya, partai terus mengesampingkan peran presiden secara terus-menerus di hadapan publik. Jokowi dan Megawati saling berselisih secara politik dan keduanya telah berfungsi sebagai pembuat keputusan yang mempengaruhi calon masing-masing.

Dia mengevaluasi bahwa saat ini Megawati menghadapi banyak lawan yang cukup kuat, termasuk Surya Paloh dan SBY. Namun, lawan yang mengejutkan baru-baru ini adalah Jokowi sendiri, yang berhasil membentuk aliansi yang kuat. PDIP menghadapi tantangan yang semakin sulit dan berat. Ada banyak kritik terhadap perubahan ini, karena isu-isu internal di PDIP yang dianggap terlalu dominan.

Setelah pernyataan dari Jokowi, penyatuan Golkar dan PAN secara resmi dengan Gerindra dan PKB, menjadi semakin jelas bahwa koalisi pemerintahan telah pecah menjadi tiga bagian. Hal ini tampak dari tiga konfigurasi partai koalisi yang memiliki calon presiden masing-masing. Kepala negara dan para menterinya tidak mungkin dapat fokus sepenuhnya pada tugas pemerintahan. Energi, pemikiran, dan waktu mereka habis tercurahkan untuk pertempuran politik demi meraih kemenangan dalam pemilihan 2024.
Namun, seperti yang disampaikan oleh Didik, perlu ditekankan bahwa situasi demokrasi yang mengalami kemunduran dan perburukan saat ini hampir mencapai titik kritis ketika pihak berkuasa berusaha untuk mengubah batasan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, yang bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Semua partai tampak patuh terhadap rencana yang tidak masuk akal ini dan rencana tersebut hampir diwujudkan dalam sidang paripurna MPR.
Dia menyebut politik sekarang bergerak dengan kemauan dan kepentingan elit pemimpinnya.  “Para pendukung Capres ke depan sebaiknya tidak usah militan radikal dengan membangun peradaban politik jahiliyah dan demokrasi bajingan, yang  dilakukan dengan cara-cara menghasut, menjadi buzzer pemecah belah warga bangsa, dan sejenisnya.  Itu telah terjadi dalam pilpres yang lalu dimana sesama warga dibelah dan membelah menjadi kutub Cebong dan Kampret.”
Spread the love

By rdks

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *